Senja dan Epilog Akhir Tahun

Bo – Sierra Leone, 31st December 2013 [06:22pm]

Jangan bilang-bilang kalau saya membagimu satu rahasia:

Saya menyukai kamar jenazah….

***

Saat rumah sakit ini dibangun belasan tahun yang lalu, mereka menempatkan kamar jenazah jauh di sudut belakang, ukurannya hanya beberapa petak saja dengan kisi-kisi tipis berbalur cat putih bersih, dindingnya pun kini hampir menyatu dengan pagar. Sebuah lampu neon menggantung di langit-langitnya, satu bilah dipan kayu, sebuah kursi dan jendela mungil yang memungkinkan saya memandang ke gugusan bukit berhias rimbun hutan mungil di belakang rumah sakit kami.

Rumah sakit tempat saya ditugaskan kali ini bernama Gondama Referral Centre, sebuah rumah sakit sederhana di timur Sierra Leone yang mengkhususkan diri untuk menangani anak-anak sejak hari pertama kehidupan mereka hingga berusia lima belas tahun.

Bukan tanpa alasan rumah sakit ini dikhususkan, Sierra Leone menempati posisi pertama sebagai negara dengan tingkat kematian anak tertinggi di dunia. Tiap harinya rumah sakit kami menampung lebih dari ratusan pasien, mulai dari bayi mungil yang lahir prematur hingga anak-anak yang datang dengan kondisi kejang hingga koma.

Tiap hari saya berjumpa dengan kematian di tempat ini, tapi seringnya kamar jenazah kosong melompong. Orang tua yang anaknya meninggal memilih untuk membawa pulang anak mereka sesegera mungkin tanpa perlu meluangkan waktu berdiam sementara di kamar jenazah. Saya dapat memaklumi, tiap-tiap dari mereka ingin bergegas membungkus duka dan menguburnya dalam-dalam.

Di kamar jenazah tak ada satu pun penghuninya yang bernyawa, maka kematian tak pernah berkunjung kesana, tak ada isak tangis, tak ada raung kesakitan, tak ada wajah-wajah redup yang tampak memelas ataupun deru mesin-mesin penyokong kehidupan

Kamar jenazah menyimpan keheningan dengan maha sempurna…

Seringnya kamar jenazah menjadi lokasi pelarian saya untuk berehat sejenak, bilik kecil yang dingin ini menjadi tempat yang paling nyaman untuk melesap secangkir teh hangat sembari menikmati senja yang memerah dari balik kisi-kisi jendela.

Langit Sierra Leone diberkati dengan barisan awan yang menggantung tipis-tipis, membuat matahari senantiasa tampak membulat dengan sempurna di penghujung senja hampir setiap harinya. Pijarnya yang berwarna lembayung kemerahan senantiasa meluruhkan warna biru langit di kala petang. Saya senang berdiam di kamar jenazah sembari menikmati matahari yang bergulir pelan berganti malam. Saya pernah iseng menghitung berapa lama waktu bagi langit negeri ini untuk berganti warna dari terang menjadi gelap: Saya mendapat angka dua puluh dua menit.

Processed with VSCOcam with c2 preset

Momentum dua puluh dua menit tidaklah lama, tapi rasanya waktu berjalan pelan. Saya dapat menuntaskan secangkir teh, mengisi jurnal, membaca satu bab buku dan beberapa buah lagu. Dan hari ini saya menikmati momentum dua puluh dua menit yang paling terakhir di tahun 2013, matahari penutup tahun ini sudah terbenam beberapa menit yang lalu.

Tahun sebentar lagi berganti, bumi sekali lagi berevolusi dan bulan akan kembali dirunut satu demi satu. Tahun ini sepertinya berlalu cepat sekali, saya menghabiskan lebih dari tiga ratus pagi di negeri asing dan kurang dari tiga puluh malam di meja makan bersama ibu dan adik-adik saya. Bumi berevolusi dan saya layaknya berotasi tanpa sumbu di dalamnya, berpindah dengan cepat, berganti ruang, teman dan kerabat, melintas samudera dan batas.

Saya merasa waktu bukan lagi sebuah penanda…

…Dan oleh karenanya saya menyukai kamar jenazah.

Tempat ini seringnya mengingatkan saya untuk memelankan laju, mengingatkan saya bahwa banyak momentum-momentum dalam hidup yang selamanya tak akan pernah berulang. Matahari masih akan terbit esok hari, esoknya lagi dan esoknya lagi. Tapi dua puluh dua menit hari ini belum tentu sama dengan dua puluh dua menit keesokan harinya. Layaknya anak-anak yang saya temui, tidak semua dari mereka akan kembali sempat menikmati senja yang memerah sembari bermain di pelataran rumah untuk selamanya.

Man lebt nur einmal! [You only live once!]

Johann Strauss II, seorang komposer Jerman pernah menuliskannya dalam sebuah waltz di tahun 1855. Generasi muda pun mendengungkannya hingga kini dan saya pun mengamininya berkali-kali. Tapi kematianlah yang menjadi guru terbaik dan senantiasa mengingatkan saya akan makna sebenarnya dari “hidup ini cuma sekali”. Kematian mengingatkan saya akan waktu yang datang terlambat, akan cinta yang tertinggal, kenangan yang senantiasa terserak dibelakang serta momentum-momentum yang terlewatkan tanpa riuh pelajaran.

***

Pernah suatu malam saat seorang anak berusia lima tahun yang saya rawat selama beberapa hari harus meninggal akibat parasit malaria yang menyerang otaknya, saya mengucapkan belasungkawa di kamar jenazah. Bukan hal yang umum saya lalukan tapi kali ini saya memberi pengecualian.

Di penghujung ajalnya anak itu masih sempat mengucapkan salam kepada ibunya dan mengucap takbir akan kebesaran Tuhan sembari menyunggingkan senyum dan kemudian terlelap untuk selamanya. Saya yang berada disampingnya saat itu hanya bisa jatuh cinta kepada kematian yang datang dengan begitu anggun dan merasakan patah hati oleh hilangnya sebuah kehidupaan disaat yang bersamaan.

“Let me help you carry the body to the morgue…” Saya menawarkan bantuan kepada ibunya yang dibalas dengan anggukan pelan. Malam telah terlalu larut untuk ibunya berjalan kaki pulang ke desa sembari membopong jenazah anaknya, maka ia memilih menunggu subuh datang.

Kami membaringkan anak itu di dipan kayu, ibunya menyelubungi tubuhnya dengan kain bercorak sebelum pamit keluar untuk merapikan perlengkapan rumah yang dibawanya. Meninggalkan saya yang berdiri terpaku disana memandangi sesosok jenazah yang terbaring kaku.

Walaupun saya tak sendiri di ruang kecil ini, saya adalah satu-satunya manusia dengan darah yang masih mengalir, otak yang masih berpikir dan jantung yang masih berdetak. Sedangkan anak yang terbaring di hadapan saya, usianya baru lima tahun dan momentum kehidupannya telah berlalu.

Di ruang kecil ini malam itu, raga kami terpisah beberapa langkah tetapi kematian memisahkan takdir kami jauh melampaui jutaan tahun jarak cahaya.

***

Kematian menyadarkan saya bahwa usia kita sejatinya bukan diukur oleh satuan waktu, bukan oleh penanggalan manusia ataupun rumitnya pergerakan benda-benda di alam semesta. Tapi jauh lebih sederhana dari itu semua, hidup ini diukur oleh satuan detak jantung yang telah kita lalui.

Masing-masing dari kita telah melewatkan jutaan detak, tapi tidak semua dari kita telah mengisinya dengan hidup…

Sejak saat itu, saya senantiasa meluangkan beberapa detik untuk sebentar saja menikmati irama jantung dan merasakan ritme nadi sembari mengingatkan diri saya bahwa hidup ini sungguh cuma sekali dan detak yang saya nikmati kini dapat berhenti kapan saja tanpa saya sadari.

Dan pergantian tahun, resolusi dan bahkan waktu pun sekadar menjadi penanda bahwa kita memiliki batas akhir, garis mati yang pelan tapi pasti segera kita temui…

***

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s