Satu Koma Enam Satu Delapan

Begini awal mulanya…

Di suatu petang di bulan November, di tengah perjalanan panjang trans-liberia yang tengah saya tempuh, rombongan kami berhenti sejenak di sebuah desa bernama Lombe. Kala itu kami berniat melewatkan sebuah pekan di pulau Tiwai, sebuah pulau besar di tengah-tengah sungai Moa yang melintasi Sierra Leone, Liberia dan berakhir di delta niger – Nigeria.

Pulau Tiwai menjadi salah satu dari sedikit destinasi alam liar yang dapat dijangkau dengan jalan darat dari kota tempat saya bermungkim. Sejak dahulu, Tiwai telah dikenal sebagai daerah suaka bagi primata. Pulau yang luasnya tak lebih dari dua lapangan bola menjadi rumah bagi sebelas jenis primata dan great apes. Peneliti eropa sejak awal tahun 50an menasbihkannya menjadi salah satu daerah dengan kekayaan primata terbesar di dunia.

Tiwai menjadi rumah bagi  monyet Diana yang langka, menjadi ekosistem alami bagi monyet Kolobus Merah beserta koloninya dan juga tempat persembunyian Chimpanzee Hitam Afrika yang semakin sulit ditemui.

Saya menyebut Tiwai sebagai daerah suaka, tempat perlindungan bagi primata yang terancam punah, sungai Moa yang lebar serta buaya-buaya Nigeria yang mendiaminya menjadi pelindung alami para primata dari pemangsa utama mereka; Manusia.

Sejak dahulu di tanah ini primata diburu, dibakar hingga hangus tak berbulu, kemudian dikuliti satu persatu sebelum dagingnya dimasukkan ke dalam periuk-periuk tanah dan disajikan hampir tiap malam. Hingga kini tak banyak yang berubah, tiap hari dari sisi jalan yang saya lewati menuju rumah sakit tempat saya bekerja, pandangan saya berserobok dengan tumpukan monyet mati yang digantung berjejeran sembari menanti pembeli datang memilih.

Lambat laun primata di negeri ini mulai menghilang, akibat punah dimangsa atau bermigrasi karena terpaksa? Saya sendiri tak tahu.

Tiwai kemudian menjadi satu-satunya tempat yang saya ketahui dimana primata ini dapat berloncatan bebas dari satu pohon ke pohon yang lainnya tanpa perlu khawatir diberondong timah panas para pemburu.

Tapi petang itu di desa Lombe, seorang peneliti muda dari Austria yang saya temui bercerita tentang Tacugama, satu lagi daerah suaka di negeri ini yang khusus menampung Chimpanzee Hitam Afrika, sebuah suaka khusus yang didirikan pasangan suami istri asal Srilanka sejak tahun 1995 hingga kini dan bahkan tak tergerus oleh perang saudara.

Singkat cerita, perjalanan ke Tiwai membuka mata saya tentang buasnya manusia. Saya ingin mengunjungi Tacugama untuk melengkapi seri pengalaman saya. Sebuah hari saya tetapkan, satu tanggal di masa depan sebelum saya meninggalkan tanah ini.

Tapi rencana tak selalu berjalan sempurna, kadang ia meregang jauh melampaui masa yang kita ancangkan, terkadang pula ia mengkerut dan datang lebih awal.

Seperti kali ini, saya mengunjungi Tacugama kemarin pagi!

***

Begini Ceritanya….

Freetown, 9 February 2014 [09:23am]

“Take it slow and enjoy my friend, this is Africa!”

Seumur hidup saya tidak akan pernah akan lupa dengan kalimat yang di lontarkan seorang penjual ganja yang saya temui di Ethiopia 2 tahun yang lalu saat saya pertama kali menginjakkan kaki di benua hitam ini.

Apabila ada satu hal yang saya pelajari dari benua ini adalah: Afrika tak memberimu satu pun kepastian akan apapun! Maka jangan sungkan menikmati keterlambatan, jangan bosan mendengar permintaan maaf atas kegagalan dan selalu siapkan senyum terlebarmu untuk sebuah kejutan yang paling tidak menyenangkan!

Setelah penerbangan saya menuju London tertunda hingga lebih dari dua belas jam dan tanpa kepastian tentang waktu terbang berikutnya. Saya memutuskan untuk mengunjungi Tacugama bersama rekan saya Marlon, seorang ahli kebidanan dari El-Salvador.

Tacugama terletak tidak jauh dari pinggiran kota Freetown, berbatas perbukitan dan hutan lindung yang semakin gundul akibat pembukaan lahan, – oleh pemerintah disebutnya dengan “pembangunan” – ataupun akibat pembakaran liar. Sebuah palang berwarna karat menandai jalan masuknya, jejeran pagar kawat, sebuah tukul kayu dan lonceng kecil yang kami dentangkan sebagai penanda kedatangan.

Seorang pria menyambut kami, memperkenalkan dirinya sebagai George, salah satu dari beberapa relawan di suaka ini. Dengan niat untuk dapat belajar bahasa asing, George telah melewatkan lebih dari 3 tahun menjadi guide bagi para peziarah dari berbagai belahan dunia yang mengujungi suaka ini.

George membawa kami menyisiri jalan setapak kecil yang dikelilingi bentangan kawat layaknya kamp konsentrasi. Sahut-sahutan serta teriakan chimpanzee silih berganti terdengar dari kanan maupun kiri.

“Currently we have more than 100 chimpanzee, some of them we saved from hunter or soldier, some are donation from people who kept them as a pet” Ujar George menjelaskan.

Tacugama merawat, melindungi dan melepaskan chimpanzee-chimpanzee ini. Beberapa dari mereka datang dengan kondisi yang mengenaskan, tak jarang dengan gizi buruk ataupun telanjang tak berambut akibat penyakit ataupun siksaan pemilik dan pemburunya. Tak jarang Tacugama pun menjumpai chimpanzee yang terserang HIV-AIDS, yang sayangnya tak pernah berumur panjang untuk kembali ke alam liar.

“How could you maintained this place during war? I mean this must be very easy to be spotted, no?  Tanya saya.

“We were nothing to the civil war, nor government neither rebels put interest on this place. We have had some constrains to provide food for the chimpz but there’s always a good people outside there who willing to help.” Ujarnya.

George membawa kami semakin ke dalam, menyusuri jalan setapak dan  melintasi jembatan kayu kecil yang berdecit nyaring tiap kami pijak. Di kiri dan kanan, pagar-pagar kawat menjadi pembatas antara kami dan  chimpanzee yang tak henti-hentinya menyahut gelisah tiap kami lewat.

“I hope we don’t make them feel anxious” ujar Marlon penuh kekhawatiran

“For some of them yes but just remember that most of them has deep trauma due to human. Chimpz are very supportive and protective to each other. But don’t worry, behind the fence we are save ” George mencoba menenangkan.

Jalan setapak yang kami lalui berhenti pada sebuah persimpangan, di sisi kiri sebuah menara kayu menjulang tinggi dan di sisi yang berlawanan sebuah tangga kecil mengular menuju ke kawasan yang lebih tinggi diatasnya.

“That is the observation deck, from there we can have a better view about the chimpanzee community”. George mempersilahkan kami naik ke atas.

George mengenal tiap jengkal tempat ini seperti ia dapat mengenali tiap-tiap dari kera hitam di hadapan kami, ia menjelaskan bagaimana chimpanze dan manusia berbagi 98,38% DNA yang sama. Satu hal yang menjadi jawaban mengapa chimpanzee memiliki kecerdasan yang tinggi hingga mampu menjadi satu-satunya hewan di alam liar yang dapat mengadaptasi penggunaan benda untuk mempermudah hidup mereka layaknya manusia.

Saat kami tengah asik menyimak penjelasan George, seketika dari segala penjuru gerombolan Chimpanzee saling sahut menyahut, berteriak dengan riuh dan berlompatan tak tentu arah. Dengan cepat mereka berlari mendekat ke arah pagar yang membatasi kami, membuat saya seketika ikut dibuat gelisah.

George menunjuk ke bawah. “Don’t worry, it’s a feeding time. They approaching my colleagues down there but look closely, you’ll see something that is interesting”

George menunjuk ke bawah dan saya pun menyimak dengan seksama.

Seekor Chimpanzee jantan mendekat ke arah pagar, diulurkannya tangan untuk menjangkau beberapa batang umbi-umbian yang diberi relawan. Alih-alih di makannya, satu persatu ia membagi ke beberapa chimpanzee lainnya.

Satu, dua, tiga batang untuk tiap ekornya. Sama rata, satu persatu hingga semua koloninya mendapat jatah, kemudian terakhir dia pun mengambil bagiannya…

Seketika saya dibuat terkesima…

Chimpanzee seketika membuat saya berkaca tentang sifat manusia, bagaimana pemimpin itu sungguh universal adanya. Bahkan hewan pun tahu bahwa keadilan berlaku hakiki dan semustinya tak tergerus oleh keserakahan untuk menguasai.

“They are really… like human, I couldn’t understand how people can hunt, killed or even eat them?! ” Saya spontan berujar.

“Unfortunately it happens everywhere, Orang Utan, Gorilla, Bonobos, all the four great apes are critically endangered…”

“Such an irony that the number of human’s baby that born everyday on earth are even higher than total number of great apes that alive on this planet, if only….”

Kalimat George dibiarkannya menggantung, saya tak berkenan bertanya lebih.

***

Kunjungan kami berakhir pada sebuah dek observasi terakhir.

“This is where our tour end, the last area of the sanctuary…” George menjelaskan

Kami berdiri di hadapan rimbun hutan yang terhampar memanjang, tak ada lagi pagar yang membatasi pandangan, sejauh mata memandang hanya ada gugusan bukit yang saling menyudut. Semilir angin menabuh nada pada daun-daun yang padat dan saling bergesekan.

“The end is the freedom” George berbisik, saya pun mengiyakan.

“Don’t you realized Husni, we’re only 1.618% different with Chimpanzee. 1.618 is Phi. Coincidence, no?” Lanjut ia berujar.

“I don’t know about that but I know that I’m lucky to get the 1.618% more DNA” Bersengir saya menjawabnya.

“Yes, we’re lucky!” Dan kami pun tertawa.

***

Pernyataan George mungkin ada benarnya…

1.618 menjadi angka istimewa, sejak zaman manusia masih menyembah dewa-dewa yang bertahta di Olympus hingga ilmuwan-ilmuwan eropa mulai mendengungkan renesansi di akhir abad kegelapan. Mereka menyebutnya Phi, beberapa menyebutnya golden ration, divine proportion, tak jarang yang lain menyebutnya angka kegemaran Tuhan. Ia terselip di hampir semua hal dari sekecil kulit kerang atau tiap jengkal perbadingan tubuh manusia hingga lebarnya luas lintas galaksi nebula.

Pagi itu kami menemui phi menjadi garis batas antara manusia dan kera, sebuah angka kecil yang membedakan saya dan entitas di balik pagar kawat Tacugama. Zat pencipta tak diragukan lagi sungguh mencintai manusia, diberikannya tujuh miliar manusia 1.618% DNA yang lebih dari hewan tercerdas di jagat raya untuk membuatnya mampu merasakan, berpikir, mencinta, bahkan tertawa.

Tapi sayangnya tak jarang, manusia bisa menjadi buas melebihi hewan-hewan pemburu di savana.

Dan 1.618% itu seketika tak berarti apa-apa…

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s