Doro Refugee Camp, 21 July 2013 [12:08pm]
Kalau boleh saya mengibaratkan kita manusia layaknya hewan amphibia, selalu hidup di dua dunia. Kita hidup di antara realita dan mimpi, diantara harapan dan apa yang ada dalam genggaman dan apabila boleh saya menyamaratakan, sepertinya kita; Manusia abad sekarang semuanya hidup dalam dua alam, buana nyata dan dunia maya. Tentu saja, saya pun demikian…
Di dunia maya saya tak lebih dari kumpulan meta data, pun semua orang demikian. Bytes-bytes kami bersinggungan dan menjelma menjadi memori. Membuat saya memiliki kenangan virtual tentang siapa saja yang pernah saya temui. Di balik layar dan beragam avatar banyak dari mereka adalah manusia-manusia yang mencerahkan dan betapa beruntungnya beberapa dari mereka akhirnya dapat saya raih dalam jabat tangan yang sesungguhnya.
Banyak yang berkata, dunia maya tak lebih dari ilusi. Harapan kosong yang banyak orang berusaha raih. Tempat dimana semua orang berusaha tampak sempurna ataupun berkebalikan dari realita sesungguhnya. Tapi bagi saya, dunia maya ataupun nyata tak banyak berbeda. Keduanya bagai satu simpul benang yang saling berikatan; saling bersentuhan sisi antara satu dan lainnya dengan cara yang berbeda.
Dan kali ini, saya ingin bercerita tentang salah satunya…
***
Saya mengibaratkan perkenalan saya dengan Farli layaknya dua bilangan prima yang bertemu dalam sebuah perkalian; acak. Dunia maya yang tak mengenal batas mempertemukan kami dalam sebuah ajang petualangan dimana saya dan Farli menjadi finalisnya. Farli kemudian menjadi tuan rumah dalam sebuah turnamen foto perjalanan, dimana saya pun turut menjadi tuan rumah beberapa minggu sebelumnya. Cerita bergulir cepat, saya dan Farli kemudian menjadi akrab. Kami banyak bercerita melalui baris kata dalam layar kecil, tanpa sekalipun pernah bersua ataupun bersuara.
Maret pun tiba dan saya kembali meninggalkan Indonesia menuju timur Afrika, oleh Farli dititipkannya sebuah bingkisan kecil berbalut lembaran koran bermotif batik, yang dialamatkannya kepada seseorang di benua hitam; Priska Chamato, gadis kecil yang namanya tak akan pernah saya lupa.
Sayangnya perjumpaan saya dengan Priska di bulan September setahun yang lalu mungkin hanya sekali itu saja. Kali ini saya hanya mampu melintasi negerinya tanpa sempat singgah. Bingkisan Farli pun terbawa ribuan mil dari alamat tujuannya, saat itu saya merasa bersalah tak mampu menjadi kurir yang piawai.
Berbulan-bulan lamanya, bingkisan Farli tetap bergeming di sudut tenda tempat saya tinggal tanpa pernah saya buka. Candra berganti dan musim di negeri ini pun telah berubah, saya kembali teringat bingkisan itu setelah beberapa hari yang lalu membersihkan permukaannya yang telah berselimut debu.
Mengetahui bahwa saya tak mampu mengantarkan bingkisan tersebut ke alamat tujuan, Farli mengizinkan saya membukanya dan memberikan isinya kepada siapa saja yang saya rasa pantas. Maka disuatu pagi bingkisan itu saya selipkan ke dalam tas dan niat pun saya bulatkan; Bingkisan itu akan menemukan tuannya yang baru!
Tak ada tempat yang paling tepat bagi boneka ini selain di bangsal anak kami., bangsal yang senantiasa ramai bukan hanya oleh anak-anak yang harus melewatkan malam disini karena terserang penyakit infeksi tetapi juga anak-anak kurang gizi yang jumlahnya semakin hari semakin memprihatinkan. Terkadang saya harus menarik napas panjang sebelum berjalan melintasi koridor bangsal ini tiap harinya. Asa saya seketika lenyap berganti dengan beban berat tiap kali mata saya berserobok dengan tatapan mereka yang sayup dan redup.
Saat di belahan bumi yang berseberangan, anak-anak seumuran mereka bisa dengan mudah menolak makanan dan memilah kegemaran mereka. Disini, anak-anak berjuang di garis batas hidup dan mati hanya untuk menelan secangkir susu yang kami berikan. Saya yang sering lupa terkadang diingatkan bagaimana takdir memainkan drama satir dengan sangat baik, memperlihatkan saya paradoks kehidupan dari dua sisi yang berkebalikan.
***
“Thx for being a kurir! All the best doc!”
Sembari tersenyum saya membaca tulisan tangan Farli yang tertera di depan bingkisan tersebut. Saya membuka bungkusan tersebut, di dalamnya terdapat sebuah wadah berwarna biru, samar-samar isi bingkisan tersebut tampak dari luar; dua buah boneka. Ya, Farli menitipkan dua buah boneka tangan buatannya! Boneka itu berwarna warni, biru, putih, merah, lembayung, hitam dan ungu. Rambutnya megar dan mengkilap, hasil simpul pita-pita pembungkus kado. Badannya yang ramping terbuat dari kaos kaki, dengan dua buah mata besar berwana putih bersih. Sebaris perwarna merah dadu menghias bibir boneka yang berwarna merah jambu, layaknya gincu di bibir-bibir perempuan cantik.
“You look like a puppet master H” Jenny, rekan saya hari itu berkata saat melihat saya berjalan dengan dua buah boneka melekat di tangan, saya tersenyum lebar mengiyakan sembari berjalan menuju bangsal. Tak menyadari bahwa ada yang berbeda dengan bangsal kami hari ini.Saat saya melangkah masuk, bangsal yang ramai seketika hening, bahkan si kecil Bulus yang merengek takut tiap kali melihat saya, berhenti mendendangkan bait-bait tangisnya. Tujuh pasang mata seketika terpaku pada dua buah benda asing yang melekat di tangan saya. Pagi itu. Boneka Farli telah mencuri perhatian mereka…
Saya mengangkat tangan, menggerakkan jari jemari yang berselubung boneka, sembari bergumam redup dalam suara yang terdengar konyol. Berusaha membuat kedua boneka ini “berbicara”.
“Inta kev, nas kullu khoisin?” Sembari berjalan saya mengucapkan salam.
Alih-alih memperoleh balasan, di depan saya belasan tangan-tangan mungil mereka terjulur rapuh, berusaha menggapai punggung boneka ini saat saya melangkah. Saya melirik ke kiri dan ke kanan, tampak ibu mereka sibuk menenangkan anak-anak mereka.
Di sudut yang terjauh saya melihat Sunday; Pasien kami yang paling kritis menggerakkan badan untuk pertama kali, sembari menatap lekat ke arah sepasang boneka di tangan saya, mata bulatnya tampak jernih dan tak redup lagi.
Saya bergetar, dada saya seketika sesak oleh rasa haru. Berbulan-bulan lamanya di bangsal, baru sekali ini saya melihat seisi ruangan penuh dengan semangat kehidupan! Untuk mereka yang menelan segelas susu pun adalah sebuah perjuangan, sungguh menggerakkan tangan adalah sebuah pencapaian besar.
Boneka kecil ini telah membawa perubahan!
***
Disini, tanah tandus adalah halaman bermain anak-anak Sudan Selatan. Tawa dan kesenangan mereka hadir dari hal-hal sederhana: Berlari mengejar ekor keledai, memanjat pohon baobab tua yang telah mati, berdiri di pinggir jalan sembari melambaikan tangan ke arah mobil yang melintas ataupun membuat rumah-rumahan kecil dari jerami sisa-sisa orang tua mereka. Lupakan boneka serta berbagai macam mainan canggih beraneka warna, dalam dunia mereka warna dan kesenangan adalah apa yang alam hadirkan dan dapat ditangkap oleh indera mereka setiap harinya melalui tanah, pohon, ataupun lukisan warna-warni langit. Maka bagi anak-anak di bangsal kami, boneka dari Farli menjadi mainan pertama yang mereka dapat sentuh dan kenali dalam hidupnya.
Di dunia maya Farli tak lebih dari kumpulan data, pun saya belum pernah bertemu dengannya secara nyata. Tapi semangat Farli telah menjelma menjadi sebuah wujud yang dapat saya sentuh, saya rasa dan saya bagi; Sebuah bingkisan kecil yang telah memberi kebahagiaan besar bagi banyak anak yang melewatkan hari-hari panjangnya di bangsal ini. Mungkin boneka Farli selamanya tak akan sampai ke alamat tujuannya, mungkin juga saya tak akan pernah menjadi kurir yang piawai tapi setidaknya disini boneka ini menemukan rumah, bersama mereka yang menyukainya.
Kini saya hanya berharap semoga kelak takdir mempertemukan saya dengan Farli dalam wujud nyata, menghapus sekat maya kami dan memberi saya kesempatan untuk bisa mengucapkan terima kasih.
Dari saya dan anak-anak kamp pengungsian ini, di suatu titik di ujung bumi.
***