Miracle Deforms

Bagi saya, masa-masa menjadi mahasiswa adalah puncak selebrasi intelegensia. Belajar ilmu kedokteran layaknya merekam rumus-rumus eksakta dalam bentuk yang berbeda. Banyak yang berkata ilmu kedokteran itu adalah seni, bagi saya ilmu kedokteran layaknya sains murni. Melalui fisiologi saya belajar mekanisme kerja sebuah mesin maha rumit bernama manusia, mekanika kerjanya dan bagaimana kelak saya harus memperbaiki bagian yang rusak. Ada pula farmakologi yang mengajarkan saya tentang senyawa biokimia berupa rantai-rantai heksagon indah yang secara menakjubkan dapat berikatan dengan susunan molekul tubuh dan memberi efek yang menyembuhkan. Bagi saya, penyembuhan itu adalah sebuah bentuk kekakuan hukum; tanda-gejala memberi diagnosa dan berakhir dengan terapi.

Saya belajar bahwa penyakit muncul karena ketidakseimbangan dalam tubuh. Dan layaknya mesin, sekali kita memahami cara kerjanya maka tak ada hal lain yang tidak dapat dirasionalisasi. Obat pun demikian, aksi-reaksinya adalah ilmu yang dapat dijelaskan dalam berlembar-lembar kata, walaupun memahaminya tak pernah sederhana. Dalam  ilmu pasti tak ada bualan bernama keajaiban pun saya tak pernah belajar tentang itu. Tak ada jampi penyembuh ataupun sihir sakti yang dapat menjadi rantai heksagon layaknya senyawa kimia. Tetapi tak perduli sehebat apapun (kalaupun ini adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan) seorang dokter. Ada miliaran sel yang tak kasat dari pandangannya, ada berbagai kemungkinan yang dapat muncul dari sebuah diagnosis yang ditegakkannya, ada banyak lorong-lorong gelap dalam labirin otaknya dan banyak ruang kosong untuk penjelasan di luar nalar yang akhirnya berujung pada satu kesimpulan: Keajaiban, mungkin saja ada…

***

Doro Refugee Camp, 17 March 2013 [ 07:13pm]

Sungguh aneh rasanya, melihat jam bergulir ke arah kiri sedangkan matahari masih tinggi. Seandainya hal ini diibaratkan pertandingan tinju antara surya dan purnama, yang disebut kedua telah kalah telak dan menelan resiko kekalahan  untuk terbit belakangan. Jangan tanya mengapa, karena saya tidak mengetahui dengan pasti akan penjelasan geografis yang membuat negeri ini masih terang benderang di permulaan malam. Hari ini adalah debut pertama saya jaga malam di bangsal klinik. Karena klinik kami bekerja sepanjang hari, kami pun harus memilah waktu dan membagi hari menjadi beberapa bagian. Tiap-tiap dari kami akan mendapat jadwal bertugas di malam hari, melawan kodrat fisiologis dan tetap terjaga hingga sang candra kembali berlalu. Untuk itu, saya berkenan masih ditemani mentari yang tampak mengulur-ngulur waktu terbenamnya. Karena sungguh bagi saya, cahaya itu selalu menyemangati.

“Assalamu Alaikum…” Saya menyapa para asisten perawat yang bertugas malam ini, dengan satu-satunya salam dalam bahasa arab yang saya ketahui.

Di kamp pengungsian ini walaupun mayoritas penduduknya menganut agama Kristen ataupun agama tradisional Afrika, bahasa Arab menjadi bahasa ibu yang digunakan sehari-hari. Lucu rasanya saat saya menyadari sebuah fakta unik, bahwa walaupun mereka fasih melafal kata tapi kebanyakan dari mereka tak dapat mengeja aksara arab sama sekali. Berkebalikan dengan mayoritas penganut agama Islam di Indonesia yang dapat mengeja susunan huruf hijaiyah tapi terkadang tak mengerti artinya. Sebenarnya malu saya berkata, tetapi saya pun termasuk salah satunya. Kemudian mana yang lebih penting? Saya sendiri belum dapat menyimpulkan.

Malam di tempat ini selalu dimulai dengan visitasi, mengecek kembali kondisi pasien kami satu persatu. Memastikan semua terapi telah diberikan dan tak ada keluhan menggelisahkan yang belum tersampaikan oleh mereka. Bangsal kami tidaklah besar; sebuah kontainer biru yang  memuat beberapa dipan yang kebanyakan dibuat dari kayu yang disambung dengan rajutan tali-temali. Ada satu kontainer yang menjadi bangsal umum, satunya lagi bagi pasien-pasien gawat darurat dan yang terakhir di khususkan bagi para anak kecil yang menderita malnutrisi.

“Everything is OK doctor, we admitted one kid this afternoon with severe malnutrition and diarrhea. But now he’s stable” Amron salah satu asisten perawat yang bertugas malam ini melaporkan saat kami melintas di bangsal malnutrisi. Saya memandang delapan dipan yang berjejer saling berhadapan, mata saya berkeliling mencari siapa nian penghuni baru ruangan ini. Saya mengenal semuanya, sehingga tidaklah sulit untuk mencari tahu sang penghuni baru. Kemudian pandangan saya terhenti di sudut ruangan, dipan bernomor tiga rupanya telah mempunyai tuannya. Saya mendekati mereka, seorang wanita tua dengan pakaian hijau lusuh dan kalung-kalung manik yang menggantung bebas di lehernya. Ada bayi kecil yang tertidur pulas di pangkuannya dengan sebuah selang menjulur keluar dari lubang hidung, dadanya kembang kempis bergantian dengan perutnya yang naik turun. Ada seorang anak kecil lain disana, perempuan, yang saya taksir berumur tak lebih dari tujuh tahun sedang sibuk mengipasi si bayi mungil. Saya mencoba menyapa mereka dalam bahasa arab, tapi hanya hening yang membalas. Mata mereka redup, mulut mereka terkunci.

Beberapa detik kami semua bergeming dalam diam sebelum sebait senyum mereka berikan…

Saya memeriksa si bayi mungil yang kemudian saya kenali dengan nama Kalasin Sadik, umurnya baru tiga bulan. Malang bagi dia, sang ibu meninggal saat berjuang melahirkannya. Menyisakan Kalasin yang diasuh sang nenek yang setiap hari berjuang mencari pemilik puting-puting baik hati yang ingin berbagi susu untuk cucu bungsunya. Sebuah ledakan besar dari bom-bom yang berjatuhan dari langit temaram meluluh lantakkan desa mereka; Mufo. Begitulah mereka menyebut nama desa tempat mereka berdiam, sebuah desa kecil di wilayah Nil Al Ashraq atau Nil biru. Sejak saat itu sang nenek bersama dua orang cucunya memulai perjalanan, melintas batas negeri ke tanah asing yang mereka percaya memberikan kedamaian. Dan perjalanan itu pula yang membawa mereka hingga ke dipan nomor tiga malam ini…

***

Malam semakin larut tapi suhu udara masih cukup tinggi, gerah saya mengibaskan angin yang sama sekali tidak membawa hawa sejuk. Perlahan mata saya terasa semakin berat. Sial! Saya tidak boleh tertidur setidaknya malam ini. Saya memutuskan untuk keluar, mencoba mencari angin segar dari balik pintu bangsal. Sebuah kursi plastik saya keluarkan dan segelas teh jahe saya seduh, selesap demi selesap hangat teh membasuh kerongkongan, mengembalikan rasa awas yang sedari tadi telah hampir terlelap. Amron kemudian mengikuti jejak saya dan di depan pintu bangsal kami pun duduk berdampingan.

“You have a beautiful country Amron, are you realized that?” tanpa menoleh saya berujar kepadanya.

“Here? Beautiful? Are you trying to be sarcastic? Hahaha” Tawanya membuncah, merespon saya dengan kelakar layaknya saya baru saja memberinya sebuah lelucon yang maha lucu.

“No, of course not. Look around you, the view is an infinity beauty!” masih tanpa menoleh, saya menjawab.

Pemandangan malam Afrika selalu dapat membius saya, walau malam selalu pekat oleh gulita tapi disini bintang bersinar dengan sangat terang. Tak ada pijar neon yang menyilaukan ataupun papan reklame yang berputar 24 jam, datarannya kosong menghampar berbagai misteri. Bayang-bayang pohon akasia berdiri teratur, berdampingan dengan kokohnya pohon Baobab raksasa. Tak ada yang tahu, apa yang menimbulkan bunyi gemerisik di balik savana tapi selalu ada rasa ingin tahu disana. Misteri, kegelapan, hasrat, petualangan, benua ini selalu mengundang rasa penasaran..

“Maybe you right but maybe we don’t want a beautiful country we just want a peaceful land…” dia menjawab atau bergumam sendiri saya tak tahu pasti. Tapi kalimatnya menutup percapakan singkat kami.

Malam kami pun berlanjut dengan “kursus singkat bahasa Arab”, Amron menjadi guru dan saya adalah muridnya yang paling dungu. Beberapa kali dia tergelak tawa saat saya salah menyebut kalimat yang sejatinya ditujukan kepada lelaki tapi saya melafal layaknya sedang berbicara dengan wanita.  Tanpa saya sadari ada dua pasang mata yang tengah mengamati kami dari balik pintu, sang nenek dan cucu perempuannya berdiri disana.

“They have a beatiful necklaces, please tell them that” sembari tersenyum kepada mereka, saya berujar ke Amron. Gelombang tawa renyah kemudian keluar dari mulut mereka, sebagai respon saat Amron menerjemahkan perkataan saya ke dalam bahasa Uduk: Bahasa lain yang digunakan di wilayah ini.

“Can I look closely?” Saya  berujar sembari mendekat ke arah mereka. Di leher mereka bergelung kalung-kalung manik beraneka warna. Hijau, merah, putih, kuning, hitam. Ukurannya dari yang kecil layaknya butir gabah, hingga lonjong sebesar lingkaran biji kurma.  Tampak lebih berwarna saat disandingkan dengan kulit mereka yang kelam, cantik dan eksotis. “They called it Shuq-shuq” Amron menjelaskan saat saya bertanya, nama untaian manik tersebut.

Kemudian mata saya tertumbuk pada sebuah kalung yang terbuat utasan benang dan bermata lima buah “kayu”, warnanya yang kusam sama sekali tak serasi berdampingan dengan bingar manik-manik cantik lainnya. “What is this?” rasa penasaran membawa jari-jari saya menyentuh mata kalungnya, teksturnya yang kasar dan kering mengingatkan saya pada ranting-ranting pohon yang meranggas di musim kemarau. “Iriq!” sang nenek berseru seketika, seakan mengerti pertanyaan yang saya ajukan tanpa perlu diterjemahkan. Mulutnya kemudian lancar bercerita, memperkenalkan saya kepada rangkaian akar penyembuh kepercayaannya. Malam itu, saya berkenalan dengan Iriq untuk pertama kalinya.

Dikisahkannya tentang sebuah pohon bernama Shayya, tumbuh diantara semak-semak luas di bantaran sungai Nil Biru. Shayya tidaklah istimewa, tapi akarnya menjadi buruan penduduk desa. Sang nenek beruntung mendapatkan Iriq – akar Shayya – kemudian Iriq dijemurnya tepat ditengah-tengah surya Sudan Utara yang membakar. Dipotongnya Iriq menjadi beberapa bagian, dirajut bersama menjadi mata kalung dan diberikan kepada cucu perempuan satu-satunya: Jerema Sadik. Baginya Iriq adalah ibu dari segala obat, penyembuh dari segala penyakit. Saat keluarganya sedang bersua dengan penyakit diambilah secuil Iriq dari mata kalung tersebut, digerus hingga halus dicampur dalam air kemudian diminumkan atau dibasuhkan ke tubuh pasien, niscaya tak ada penyakit yang ingin hinggap lebih lama lagi.

“How many Iriq has been used so far?” saya bertanya dengan segan, enggan rasanya memotong ceritanya yang tampak mengalir lebih deras dari pompa-pompa air baru di kamp pengungsian. Amron menerjemahkan dan dia menaikkan lima ruas jarinya…

Hanya diperlukan secuil Iriq untuk sebuah penyakit, lima buah Iriq yang tersisa menandakan ada sepuluh Iriq saat awal mata kalung tersebut dirajut. Pikiran saya kemudian menjelajah, menebak berapa banyak penyakit yang telah di hadapi keluarga mereka dan bergidik membayangkan bahwa hanya pada ruas-ruas Iriq mereka menggantungkan harapan.

Si nenek kemudian melepas kalung bermata Iriq dari leher cucunya, pelan di sodorkannya kepada saya, “She want to give one of the Iriq for you” Amron berkata. Saya terkejut mendengarnya, tentu segan saya menerima. Bukan karena saya tidak percaya tapi karena saya mengerti betapa Iriq menjadi sangat berharga bagi mereka.

“No thank you, I can’t accept your gift” saya berujar, berusaha mengucapkannya dengan sopan,  “but if someday I’m sick, I will ask you to heal me with Iriq.”  Ujar saya dengan kelakar.

Kami menemukan solusi yang memuaskan!

***

Apabila saya ditanya dengan jujur apa saya percaya dengan kemampuan secuil akar kering untuk menyembuhkan segala macam penyakit? Mungkin saya akan menjawab tidak. Tak ada penjelasan logis pun teori-teori retoris yang saya baca dari buku ajar kedokteran selama bertahun-tahun, mampu menjelaskan tentang hal seperti itu.Tapi saya percaya bahwa Iriq adalah sebuah keajaiban.

Keajaiban yang selama ini selalu ada di dalam tiap manusia, percaya ataupun tidak percaya. Sebuah keajaiban yang mampu membangkitkan manusia dari keterpurukan ataupun menyembuhkan hati-hati yang dibaret oleh kekecewaan. Tiap orang berusaha berpegang pada keajaiban itu, mencoba meyakinkan diri mereka bahwa selalu ada pelita dalam gulita. Keajaiban itu kemudian menjelma menjadi bentuk apa saja, dari sebuah akar kering hingga sebaris senyum virtual di ruang maya.

Keajaiban yang bernama harapan…

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s