Welcome to The Youngest Country in The World!

Doro Refugee Camp, 20 March 2013. [09:51pm]

Sejauh apa mimpi bisa membawamu?”

Saya tak pernah menyangka bahwa hidup saya akan sedemikian dinamisnya, layaknya riak-riak sungai kecil di tepi hutan, yang kadang mengering saat kemarau dan penuh jeram saat musim penghujan tiba. Baru beberapa hari yang lalu saya menikmati sejuknya mesin pendingin, sembari menikmati segelas jus apel di salah satu restoran kegemaran saya di Makassar. Dan kini padang tandus nan luas sama sekali tak memberi ruang untuk saya berteduh dari sengatan surya negeri ini yang cadas, pun sebotol air untuk menghapus dahaga.

Sungguh, sebelum saya menapak negeri ini saya tak pernah mempercayai bahwa di sebuah sudut bumi ada tempat yang layaknya semesta yang paling terisolasi. Tempat kehidupan ditempa dengan sangat keras, dimana hidup adalah tentang hari esok, tentang udara yang masih dapat dihirup dalam selimut debu.

Dan mimpi? Mimpi adalah perhiasan termahal yang dapat manusia kenakan…

***

Perang sipil yang berkepanjangan membelah Sudan menjadi dua bagian, sekali lagi agama yang semestinya menjadi pemersatu tak ayal menjadi pemecah. Dan hal itu membuat Sungai Nil yang agung kembali menambah nama deretan negeri yang dilintasinya; Republik Sudan Selatan. Negara termuda di dunia, rumah saya untuk setengah tahun ke depan. 

Sudan Selatan adalah bayi baru di benua Afrika, dia sama sekali buta akan pembangunan. Juba yang menjadi ibukota negara layaknya sebuah susunan lego yang dibangun dalam semalam. Tercengang saya melihat riuh dan gaya bandara internasional yang mirip pelelangan ikan, tersusun oleh bilik-bilik kayu dan ramai oleh pekik teriakan dimana-mana. Dinamis dan fluktuatifnya negara ini dapat dengan mudah terbaca.

Sayang sekali, Juba yang berada di selatan dan berbatasan dengan Uganda hanyalah perhentian sementara bagi saya. Kehidupan saya di negara ini belum di mulai di terminal bandara. Pesawat membawa saya terbang ke titik paling atas negara ini, ke daerah perbatasan Sudan Selatan dan Utara. Saya sempat berfikir, manusia apa yang berkenan hidup di daerah perbatasan yang labil dan penuh konflik seperti itu? Dan di Doro saya menemukan jawabannya, mereka adalah para manusia yang terusir dari negerinya…

Saat pertama kali mendarat di Doro, saya tercengang memandang jejeran tenda-tenda pengungsian yang berdampingan dengan padang tandus nan gersang. Doro yang sejatinya daerah tak bertuan menjelma menjadi kota para manusia terusir. Di Doro udara panas menjadi teman paling setia, siang dan malam seakan tak ada bedanya, bahkan bulir keringat pun dapat menguap seketika.

Di tempat ini ada ribuan manusia yang menggantungkan hidupnya dari bantuan, tanpa pekerjaan, tanpa penghidupan, tanpa masa depan. Ada rasa sesak di dada saat saya melihat jejeran manusia yang kurus kering berbalut belulang memandang kosong ke arah mobil yang saya tumpangi dari pinggir jalan, bergeming  sesaat sebelum menghilang dibalik gumpalan debu yang memekat saat ban mobil bergulir menyapu jalan.

Di Doro saya seakan lupa akan waktu, karena pekerjaan saya terbebas dari dikotomi siang dan malam. Pasien dapat datang kapan saja dan oleh karena itu kami harus senantiasa siap siaga, tak ada nyawa yang dapat menunggu kami untuk sekedar merapikan diri.

Saat malam yang tenang, saya dapat berkumpul dengan rekan-rekan saya di bawah pohon akasia kegemaran kami. Berceloteh ringan ataupun menertawakan hari yang tampaknya tak pernah memainkan peran protagonis. Dari meja tempat kami biasa menikmati makan malam bersama, saya dapat berkeliling dunia melalui pengalaman mereka. Sebotol air dingin dan gelak tawa mereka adalah cara terbaik untuk menutup hari.

***

Sudah setahun lamanya saya menggantungkan jas putih kebanggaan para dokter dan kini hanya mengenakan tak lebih dari kaos putih usang ataupun rompi yang berwarna kecoklatan akibat debu. Bangsal tempat saya bekerja pun hanyalah sebuah kontainer besi yang dikelilingi tenda-tenda plastik dengan beberapa dipan kayu di dalamnya. Di tempat ini, senyum hangat dan ucapan terima kasih adalah bayaran tertinggi yang dapat saya terima dari seorang pasien.

Apakah ini yang saya impikan? Tentu bukan. Hidup di zona konflik dan bekerja di daerah pengungsian tak pernah terpikirkan sebelumnya. Tapi seandainya saya ditanya, apa saya bahagia? Saya dengan bulat akan berkata iya!

Di tempat ini saya belajar menghargai hidup lebih baik lagi, untuk tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Untuk berterima kasih atas segala kebahagiaan kecil yang sering luput saya syukuri. Untuk kesempatan melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda dan bersinggungan dengan banyak manusia yang mencerahkan. Serta untuk sekali lagi mengingatkan diri, bahwa kita manusia sejatinya diciptakan untuk saling berbagi. Bukan untuk berdiam diri…

Dan apabila saya ditanya, sejauh apa mimpi bisa membawa saya? Saya akan menjawab; Lebih jauh dari mimpi yang pernah saya cipta…

Salam

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s