Ketidaktahuan yang Menenangkan

Doro Refugee Camp, 29 June 2013 [08:07am]

Jam delapan tiap harinya bocah ini duduk di bangku kayu yang terletak di depan klinik kami. Menunggu saya tiba dengan senyumnya yang merekah lebar. Tiap hari tanpa mengenal jeda, bocah ini datang berkunjung di waktu yang sama. Kadang ditemani ibunya, ayahnya atau tak jarang dia berkunjung sendirian.

Biasanya saat hujan turun, dia akan datang sedikit terlambat. Terkadang dengan baju yang basah kuyup ataupun sendalnya yang berselimut lumpur tebal, tapi tak sekalipun bibirnya tak berhias senyum yang membusur. Saat hujan tampak lebat saya biasanya meminta dia tinggal lebih lama, sekedar untuk menghangatkan diri dengan segelas susu sembari menunggu hujan berlalu.

Bocah itu bernama Kilinton, saya pertama kali berjumpa dengannya beberapa bulan yang lalu. Bukan perjumpaan yang menyenangkan apabila saya boleh bercerita. Kilinton datang dengan ditandu, tubuhnya ringkih dan nafasnya memburu. Saat itu saya berfikir, maut sekali lagi datang berkunjung ke klinik kecil kami dalam bentuk bocah berusia delapan tahun.

Mereka meletakkan Kilinton di atas dipan kayu layaknya seonggok daging tak bernyawa, ibunya bercerita sudah sebulan lebih bocah ini tergolek lemah di rumahnya. Awalnya keluarganya mengira dia hanya sakit biasa, sebelum akhirnya bocah ini tak sadarkan diri dan jatuh ke dalam koma.  Saat pertama kali memeriksanya bau buah yang tajam tercium dari nafasnya, sebuah tanda khas pada mereka yang koma karena kadar gula darah yang tinggi. Sayang bagi si kecil Kilinton, tubuhnya yang tak mampu memproduksi hormon insulin membuatnya seumur hidup harus bergantung pada suntikan. Tujuh belas hari dia dirawat di klinik kami sebelum akhirnya pulang dengan keharusan untuk berkunjung tiap pagi demi mendapatkan dosis suntikan insulin hariannya.

Sungguh menderita penyakit genetis di daerah ini bukan perkara mudah, mendapatkan sebotol kecil insulin membutuhkan proses panjang dan waktu yang tidak sebentar. Alih-alih memesannya dari kota yang berdekatan, insulin bagi Kilinton haruslah di datangkan dari negara yang berseberangan. Beruntung kami masih memiliki cadangan sebotol insulin yang mampu membuatnya bertahan untuk sebulan kedepan.

Penantian panjang bagi Kilinton juga menjadi penantian panjang bagi saya.

Dalam perkara menunggu, saya mungkin bukan orang yang piawai. Hari, jam, detik seakan-akan melebar tiap kali saya menunggu. Ada rentang jarak antara kepastian dan ketidak pastian yang harus saya lompati. Rasa gusar, gelisah dan ketidaksabaran seakan bergumul menjadi satu kesatuan, membuat menunggu tak pernah menyenangkan.  Tapi Kilinton sepertinya tak pernah gusar, walaupun dia tahu sebotol insulin kami hanya tersisa beberapa mililiter lagi.

Membuat saya terkadang berfikir tentang siapakah yang sebenarnya lebih bahagia, mereka yang mengetahui segalanya atau mereka yang mengetahui apa yang mereka ingin ketahui?

***

Sebulan setelah itu kiriman obat kami akhirnya tiba dan insulin bagi Kilinton juga terdapat di dalamnya. Tampaknya hanya saya saja yang riang bukan kepalang sedangkan dia tampak meresponnya biasa-biasa saja. Mungkin dia akan lebih gusar saat saya berkata tak ada lagi biskuit yang dapat saya bagi tiap kali dia menjadi pria dan tak menangis saat saya menyuntiknya.

Hari berganti, pasien yang datang di klinik kami silih berganti dan Kilinton masih senantiasa datang tepat pukul delapan, duduk manis sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi. Dia menjadi orang pertama yang menyapa saya di klinik tiap paginya dan menjadi orang pertama tiap harinya yang menjabat tangan saya erat-erat. Pertemuan kami di pagi yang cerah tak pernah lama, hanya beberapa menit saja.

Pernah di suatu pagi -dengan wajah tertunduk dan semburat senyum malu-malu- dia bertanya tentang benda yang tercantol di kedua daun telinga saya tiap kali saya datang ke klinik. “It’s a headphones, I’m hearing music from my phone” saya menjelaskan kepadanya sembari meletakkan headphones di daun telinga kirinya. Dia tertawa cekikikan saat saya mulai menekan tombol play dan membiarkan lagu dari salah satu band kegemaran saya The Beach Boys mengalun di labirin telinganya. Sejak itu, tiap kali dia datang dia sering meminta saya memutarkan satu dua lagu untuknya dan membuat pertemuan kami menjadi sedikit lebih lama.

***

Ia menyukai musik seperti saya menyukai musik, saya menyukai senyumnya seperti dia menyukai sekotak biskuit gandum yang saya berikan hampir tiap hari. Kami menemukan kesamaan dan kesepakatan dalam beberapa hal yang berkebalikan.

Saya berharap dia akan selalu sehat-sehat saja, hari ini, bulan depan hingga selama masa mengizinkan.

Dan semoga saja kebahagiaan dalam sedikit ketidaktahuan selalu bersamanya…

2 thoughts on “Ketidaktahuan yang Menenangkan

  1. Hai H….
    This is the second time I read this post…..and u keep amaze me
    How’s killinton now? He should turn to be a man now, right?
    Send my hug to him, if u still keep contact with him
    Even when u’re not in DWB anymore, u’re still my hero…always..
    Baik2 selalu yah H…dimanapun dirimu berada

    Liked by 1 person

    1. Halo kak Nilda (ini kak Nilda 07 kann),

      I’m so sad to inform that he’s passed away.
      My nurse in south sudan informed me that his family decided to return to Sudan a year ago and that he died before he reached home 😦
      I’m heard broken to hear that news and I feel that I need to tell people that have been touched by his story.
      I’ll try to post the story later.

      Makasih sudah berkunjung! ❤️

      Like

Leave a Reply to Nilda Cancel reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s