Zanzibar dalam Tiga Cangkir Teh

Zanzibar Coffee House, 8 July 2013 [05:45pm]

Ini sudah cangkir ketiga, selesap demi selesap teh hitam tandas sudah. Sepertinya ada yang salah dalam tiap cangkir yang saya minta, selalu ada rasa ingin tambah di akhir seduhannya. Sungguh saya mengangkat jempol akan rasa teh di pulau ini, satu sendok kecil madu sudah cukup untuk menyempurnakan seduhannya, membalut teh yang menjadi perpaduan antara daun teh hitam dan vanilla dengan rasa manis. Membuatnya menjadi salah satu teh ternikmat yang pernah saya icip dalam hidup saya.

Zanzibar Coffee House nama tempat ini, bangunan tua berlantai tiga dengan pintu ukir persia dan sebuah poster kuno tentang tata cara menyeduh kopi dalam bahasa arab, menghias salah satu dindingnya. Beruntung saya menemukan tempat ini tanpa sengaja, mereka tidak hanya menyajikan kopi arabika Zanzibar yang pekatnya melegenda, tapi teh hitam vanilla yang di seduh dalam cangkir pualamnya menarik seluruh gravitasi saya, membuat saya betah duduk lebih lama. Sayangnya ini mungkin cangkir terakhir saya, sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang toko ini akan segera tutup seperti toko-toko yang lain.

Seharian  mengelilingi Stone Stown sepertinya belum cukup. Kota ini menyihir saya agar merasa betah, saya seakan dibuat lupa bagaimana kota yang tersusun dari labirin-labirin kecil ini berkali-kali membuat saya tersesat. Membuat saya kehilangan arah dengan mudah, utara dan selatan tampak tak ada bedanya. Ada banyak gang di kota ini, ada banyak sudut mati yang membuat saya harus berbalik arah dan mencari padanan jalan yang lain. Saya tak pernah tahu akan keluar di sudut kota sebelah mana, sekuat apa pun saya berusaha mengingat, labirin kota ini tiba-tiba membuat saya menjadi orang yang gampang lupa.

Sampai akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi memperdulikan arah, memutuskan untuk berjalan kemana saja intuisi saya ingin membawa. Ke selatan ataupun barat daya sepertinya sama saja, toh pada akhirnya saya akan tersesat juga. Saya memilih untuk menikmati tiap langkah yang membawa saya jauh dari tujuan. “Tersesat mungkin bukan pilihan, tapi saat tak ada pilihan lain mungkin mencoba menikmatinya adalah jalan keluar terbaik” pikir saya saat itu.

***

Labirin kota ini mengantarkan saya ke Zanzibar Coffee House, labirin kota ini juga mengantarkan saya ke sebuah katedral tua yang berdiri dingin dengan gaya neo-roman. Menaranya menjulang, hampir menyamai istana sultan. Katedral Anglikan, bangunan yang didirikan di atas pasar budak paling terkenal di jazirah timur Afrika.

Sejarah menulis bahwa pulau ini terkenal akan rempah dan budak. Manusia-manusia dari jazirah timur Afrika di perjual belikan, dijadikan komoditas ekspor yang paling menggiurkan. Para sultan di tanah ini menjual budak ke bangsawan-bangsawan Eropa, pedagang di Amerika ataupun tuan tanah di Hindia Belanda.

Oleh penguasa negeri ini dibangunlah pasar budak lengkap dengan ruang-ruang etalasenya, tempat para budak disimpan dan dipajang.

Dua lantai di bawah bangunan pertama di kompleks katedral, ruang-ruang penyimpanan budak tersembunyi. Tanpa penerangan dan ventilasi, para budak dirantai secara berjamaah. Menunggu pintu dibuka, memberi cahaya dan juga memberi tahu bahwa telah tiba saatnya bagi mereka untuk mengikuti tuan mereka yang baru.

Saya berjalan memasuki ruangan…

Tempat ini dingin dan kering, beberapa kali kepala saya terantuk langit-langit ruang yang rendah saat saya berjalan memasuki koridor ruang penyimpanan budak. Di salah satu pilarnya menggantung rantai berulir, saya bergidik ngeri membayangkan ratusan budak yang dirantai dan dijejalkan di tempat ini layaknya karung-karung goni. Budak yang mereka anggap barang dagangan, sejatinya adalah manusia yang memiliki sejarah dan hidupnya masing-masing. Layaknya kita, manusia-manusia merdeka hari ini.

Dalam ironi, ruang budak berdiri berdampingan dengan gereja katedral. Saat yang satunya mengungkung kebebasan, yang lainnya menawarkan keselamatan. Sembari berjalan di kompleks katedral yang konon tersusun dari bebatuan karang, mata saya memandang pintu gereja yang terbuka lebar.

“Mind to take a little tour inside of the cathedral?” Seorang pria Zanzibar dengan kofiah merah menyambangi saya.

“I’m not a christian, is it OK to visit? Saya bertanya dengan ragu, takut akan kemungkinan bahwa saya akan menginterupsi kegiatan keagamaan yang berlangsung di dalamnya.

“It’s empty around this time, we have only tourists that come and visit.” Dia kembali berkata, sembari mempersilahkan saya memasuki pintu berukir gereja ini.

Benar saja, gereja ini kosong tak berpenghuni. Ornamen-ornamen khas Gereja Anglikan menghias lantai hingga langit-langitnya. Sebuah salib kayu diletakkan di salah satu pilarnya, salib yang dibuat dari batang pohon tempat jantung Dr.Livingstone [penjelajah serta misionaris yang namanya melegenda di daratan Afrika] dikuburkan.

“This place, such a different with the slave chamber building. It’s hard to believe that this cathedral was part of the old slave market.” Saya mengucapkan kekaguman saya, walau bangunan ini didirikan di bekas pasar budak. Keduanya tampak tak memiliki keterikatan sama sekali.

“No my friend, come closer I’ll show you secret of the cathedral” suara pria itu bergaung, meminta saya mendekatinya yang sedang berdiri di samping altar.

Di tunjukkannya sebuah lingkaran merah di lantai gereja. “This marked the place where the slaves were tied and whipped to show their strenght before being sold.” Dia menjelaskan

Saya meresponnya dengan diam, mata saya masih terpaku pada tanda merah di lantai pualam ini. Seketika saya membayangkan ruangan suci ini ratusan tahun yang lalu saat masih berupa pasar budak, dialiri darah manusia-manusia tanpa hak.

“Look at that stained-window, that’s all the sailor who died on anti-slaving patrol.” Suaranya memecah lamunan saya.

Pandangan saya alihkan ke jejeran mozaik yang menghias jendela-jendela gereja. Awalnya saya mengira mereka adalah para orang suci dalam ajaran agama kristen, tapi rupanya mozaik indah itu adalah para pelaut yang mati dalam patroli memberanguskan perdagangan budak. Gereja menempatkan mereka dengan istimewa, memberi ruang bagi mereka di jendela-jendela besarnya, layaknya memagar bangunan ini dengan cerita-cerita kolosalnya.

Sepertinya sejarah kelam perbudakan terlalu hitam untuk dihapuskan, menyisakan jejak dimana-mana. Tersembunyi dengan samar di tiap-tiap relik bangunan di kompleks ini. Menarik saya untuk mengetahui lebih banyak dari apa yang saya ingin ketahui sebelumnya. Tapi mungkin begitulah seharusnya, kenangan akan selalu ada untuk menjadi pelajaran manusia selanjutnya.

***

Cangkir ketiga saya tandas sudah, mungkin sudah saatnya pulang. Lain kali saya akan bercerita lagi. Mungkin tentang rempah pulau ini atau pantainya yang putih bersih atau tentang kisah yang menjadi penghuni di balik pintu-pintu kayunya yang hitam.

Sehitam sejarah kelam kota cantik ini…

2 thoughts on “Zanzibar dalam Tiga Cangkir Teh

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s