Satu Masa di Bulan Februari

“Serendipity; [noun] The occurrence and development of events by chance in a happy or beneficial way” ~ Oxford Dictionary

***

Dubai – Uni Emirate Arab, June 20th 2014 [02:33am]

Saya tidak akan melupakan satu subuh yang sama empat bulan yang lalu, tepatnya tanggal 12 Februari 2014. Saat itu saya tengah menunggu penerbangan saya menuju Praha. Penerbangan yang [sayangnya] tak pernah tiba tepat di tujuan.

Saya akan berbagi sedikit cerita tentang hari itu.

Dari mana saya memulainya? Hmm, mungkin dari alasan kepergian saya…

Saya berencana mengunjungi Praha untuk menziarahi sang kota tua dan seorang karib lama. Lucka namanya, perempuan Ceko yang melewatkan setengah tahun bersama saya di gersangnya Sudan Selatan. Saya yang saat itu tengah bermungkim di barat Afrika harus menempuh seperempat belahan dunia sebelum dapat tiba di ibukota Republik Ceko. Tak ada penerbangan langsung menuju Praha, saya pun harus berganti pesawat di London.

Sayangnya sebuah musibah menimpa pilot pesawat Gambia Bird yang subuh itu akan saya tumpangi dan penerbangan pun ditunda menanti pilot baru tiba. Saya yang memiliki waktu transit yang sangat tipis mulai dibuat cemas, segenggam masa yang saya miliki mulai luruh perlahan demi perlahan.

Satu lagi kekhawatiran saya saat itu, saya tidak memiliki visa untuk mengunjungi Inggris, satu-satunya pembenaran saya adalah selembar pernyataan yang tertulis di situs resmi pemerintah Kerajaan Inggris yang memperbolehkan warga negara Indonesia untuk transit kurang dari 24 jam tanpa meninggalkan ruang tunggu bandara. Adanya opsi untuk memindahkan penerbangan saya ke Praha ke jam penerbangan berikutnya sedikit memberi saya ruang lega. Pagi itu saya pun berangkat ke Inggris dengan jumawa.

Sayang rencana tinggallah rencana, penerbangan ke Praha hanya tersedia keesokan harinya, saya pun mulai panik dan gelap mata. Saya harus meninggalkan London hari ini juga atau berakhir di penjara.

“Move me to other flight, to any other destination in Europe, as soon as possible! I don’t care where just the fastest one!” Setengah memelas saya meminta tolong kepada petugas darat maskapai yang saya tumpangi sembari menjelaskan kondisi rumit yang saya hadapi. Dia pun dengan sigap mencari pilihan penerbangan lain.

“You have two option, either you can go to Bucharest in Romania or you can go to Budapest in Hungaria, that are the only two option available today. The other already fully booked.”

Sejenak saya terdiam dan berfikir, keduanya sama sekali bukan pilihan yang terlintas. Lokasinya pun hampir berada di ujung timur Eropa, belum lagi teman saya telah menanti di Praha…

“OK, I’ll take the flight to Budapest…” Saya memilih kota itu, dengan harapan saya tetap bisa mengunjungi Praha keesokan harinya menggunakan kereta.

“The flight will be boarding in 45 minutes, is it ok?” Petugas darat maskapai itu menyampaikan dengan tergesa.

“OK” singkat saya membalasnya.

Dan saat itu tanpa saya sadari rencana sungguh tinggallah rencana…

Saya yang berharap bertemu dengan kawan lama, menikmati akhir musim dingin di kota tua Praha bersama kisah-kisah Kafka dan sepiring Ovocné Knedlíky mendapatkan diri saya terpaku di pelataran bandara Ferenc Liszt Budapest, lewat tengah malam, tanpa persiapan, tanpa rencana dan hujan lebat yang menyambut!

Saya mengutuk dalam hati, mempersalahkan waktu yang tak memelan atau sejenak saja berhenti dan mengapa bumi yang esa ini masih saja diberi batas-batas negeri, membelit saya dengan aturan serta keharusan yang diniscayakan.  Identitas saya sebagai warga sebuah negara menjadi penjara tak kasat mata, membuat tidak semua jengkal bumi adalah rumah, tidak semua garis pantai adalah ruang bebas yang dapat saya langkahi dengan mudah dan tidak semua puncak-puncak dunia dapat dipandang dengan telanjang.

Lewat tengah malam dan hujan mulai mereda, saya mengetuk pintu hostel di gang gelap distrik tujuh Kazinczy Utca, hostel yang secara acak saya sewa beberapa menit sebelum pesawat saya tinggal landas tadi. Mendung masih menutup sinar purnama, meredupkan gang yang tampak lengang. Sesekali saya mendengar tawa dan dentuman musik dari bangunan tua di sisi jalan. Di ujung jalan yang lainnya, sebuah sinagog Yahudi berdiri kokoh dan megah.

Letih dan lapar pun mulai meraja, dari petugas hostel disarankannya saya mengunjungi Szimpla, bar yang terletak di puing-puing bekas bangunan peninggalan kuno kota ini.

“A bar in a ruin? How could that be?” Saya memandang petugas hostel saya dengan tatapan tak percaya.

“Yes, it’s simply an old and unused building. Goverment doesn’t allow the owner of the bar to renovate nor change any detail of the building but they can improved and decorates it with whatever they want. There’s special artist with main job to decorate the bar with tiny different details every single day. It’s an art by itself!”

“I tell you a fact, our ruin bars are famous as one of the best bar in the world. You can browse that” Ujar pria hungaria itu dengan tatapan bangga. Ditegaknya lagi Soproni dalam botol hijau di tangan kirinya.

Wajahnya mulai memerah, sedikit mabuk tampaknya.

Saya mengamini sarannya dan memilih untuk melewatkan malam itu di Szimpla.

Dan Szimpla mempertemukan saya dengan Làszló, pria Hungaria yang menjadi penyelamat liburan saya!

***

Budapest – Hungaria, February 18th 2014 [05:22pm]

Làszló tak ubahnya kawan lama, saya dapat bercakap denganya tentang masa lalu, kekinian dan masa depan dengan terbuka. Visi kami tentang hidup jauh berbeda tapi ada satu hilir yang menyamakan aliran kami.  Kami percaya bahwa berbuat baik akan bermuara pada hal baik juga.

Dia seorang pencerita yang handal, dibawanya saya melintas masa kembali ke zaman saat Budapest adalah dua kota yang berbeda. Dari tiap bangunan tua yang berdiri megah, jembatan kokoh yang membelah sungai Danube dan dapur-dapur yang mengepulkan aroma Goulash di sudut jalan raya dia dapat memetik cerita disana, kemudian menyajikannya kepada saya dengan segar dan apa adanya.

Saya dibuatnya mencintai sejarah kota tua ini, belajar berterima kasih atas kekaisaran Ottoman Turki yang meninggalkan jejak tradisi berupa pemandian air panas yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari tradisi kota hingga bagaimana lekatnya bayang-bayang komunis yang menyelubungi menara-menara tinggi di Buda maupun Pest.

“This is the warmest February in Budapest “pull”, you’re lucky!” Sembari bercanda diseruputnya kopi hitam digenggaman tangan kanannya.

“Calling my name with pull is not as funny as before” ujar saya.

Saya mengingat bagaimana dia terheran saat saya memperkenalkan diri. Rupanya dalam bahasa Hungaria nama saya berarti “tarik.” Semenjak itu dia senantiasa memanggil saya dengan sebutan “pull”.

Kami tengah duduk di bantaran sungai Danube, menikmati kopi ketiga kami hari itu sembari menunggu rekan Làszló yang akan bergabung makan malam dengan kami.

“If I need to choose which side of Danube I like the most, I will choose Pest.”  Sembari memandang lepas ke arah perbukitan Buda saya berujar. “Simply because I love Buda”

Bagi saya Buda layaknya putri di puncak menara tinggi yang kau pandang dari daratan terendah bumi. Ia melambangkan kecantikan serta kesepian di saat yang sama. Dari tepi sungai Danube, mozaik berwarna-warni yang membentuk gereja Matthias tampak meriah, berpagar Halászbástya yang putih mengkilat. Benteng ini layaknya kastil ratu cantik yang menghias mimpi-mimpi gadis kecil tiap malamnya. Tujuh menaranya berdiri kokoh, berhias tangga yang mengular dari tiap lekuknya. Pohon-pohon yang meranggas di musim dingin ini bagai hiasan bordir yang melekat di kaki-kaki menara. Halászbástya ini putih tak bernoktah oleh warna lain, kosong tak berpenghuni. Hanya ada patung Raja Stephen dan ukiran yang menceritakan hidupnya.

Terpisah satu sungai, kota Pest mekar oleh keriuhan. Nadi kota ini dialiri oleh beragam aktivitas, beragam rasa, beragam manusia. Tiap distriknya tampak bagai koloni yang terpisah, begitu majemuk dan berbeda. Pest membuatmu harus memberi definisi bari bagi kata indah kalau tidak ingin dibuat bosan oleh ratusan bangunan Art Nouveau yang terserak dimana-mana.

Jikalau Buda adalah sang putri anggun, makan Pest adalah sang pria tampan penjaja buah yang melewatkan hari-harinya dibawah sinar matahari dan bernyanyi.

***

“It’s always about the beauty, the art, the food, all the things you know, things you see from this city, isn’t?” Làszló menimpali cepat, wajahnya berubah masam.

“How about the blood that bleed, the soul that has gone, the live that has taken?”  What you see now, this beautiful view of Buda also the last thing my people see years ago when they forced to strip naked, stand at the river bank of Danube and got shot to death. Here, right at this place.”  Suaranya yang tinggi berubah pelan, Làszló memandang kosong ke arah Buda.

Saya dibuatnya mengingat cerita tentang pembantaian yang terjadi di kota ini, satu musim dingin di tahun 1944 dan 1945 saat ratusan orang pria, wanita, anak-anak Yahudi dijejerkan telanjang di tepi sungai Danube, kemudian ditembak mati dan mayatnya dibiarkan hanyut tak berbekas. Nenek Làszló adalah salah satu korbannya.

“Tell me Husni, what do you think about that, about us, Jewish? In your heaven, is there any place for my people?” Tanpa menoleh, Làszló memberi saya pertanyaan yang tak pernah saya duga.

Saya terdiam sesaat, bukan memikirkan jawaban pun mencari pembenaran tapi sejenak saja saya mengizinkan diri saya turut berempati atas rasa kehilangan…

“Crime against humanity is a crime against humanity, it never about religion, race or what you or I believe. What they did to your people is a crime against humanity. If that happen this time, I would stand against it, no question on that.”

“And there’s no “My heaven” my friend, I believe there’s only one heaven, our heaven.”. Saya menjawab apa adanya…

***

Keesokan harinya Làszló berbaik hati mengantarkan saya ke bandara, perjalanan saya di Budapest berakhir hari itu dan semua hiruk pikuk drama perjalanan ini menjadi begitu bermakna. Budapest adalah sebuah Serendipity bagi saya, kota ini mempertemukan saya dengan seorang rekan baru dan saya pun pulang membawa cerita dan pelajaran berharga.

Hingga kini percakapan saya dengan Làszló di bantaran sungai Danube masih menyisakan kenangan yang kuat, saya masih dapat menggali rasa dan pelajaran yang dapat saya petik kala itu.

Bagaimana kita dibekali dengan jutaan keajaiban mikro yang membentuk entitas kita, dibekali dengan sel yang senantiasa beregenerasi, bekerja tanpa perintah untuk menyokong keberadaan kita dan dihadiahi akal dan perasaan untuk saling menyeimbangkan, tetapi untuk bertahan hidup manusia memerlukan manusia lain. Dan ini membuat kita hidup untuk saling menghidupi.

Sebutlah saya seorang sekular, liberal atau si awam atas sejarah dan agama, tapi saya tak pernah setuju dengan pengkotak-kotakan manusia atas apa yang diyakininya ataupun DNA yang memetakan hidupnya. Tak ada seorang pun yang memilih untuk terlahir menjadi ras tertentu, memilih terlahir dalam kultur dan agama tertentu pun memilih untuk jatuh cinta dan kemudian patah hati atas jenis kelamin tertentu.

***

Dan seperti kutipan dalam buku Dale Carnegie:  “God himself, sir, does not propose to judge man until the end of his days”

So Why should you and I? 

5 thoughts on “Satu Masa di Bulan Februari

Leave a comment