Freetown – Sierra Leone, 27 October 2013 [10:22am]
Pergilah mencari dan sampaikan pada saya saat suatu hari nanti, di sebuah sudut bumi kamu menemukan satu orang saja yang mencintai ketidaknyamanan.
***
Diberinya saya waktu beberapa minggu untuk beristirahat, menikmati rumah dan makanan buatan tangan ibu saya. Masih banyak cerita dan kenangan tentang Sudan Selatan yang belum saya tulis dan paparkan, saya masih harus kembali membiasakan diri tidur tenang tanpa dentuman suara senapan dan kini pekerjaan kembali membawa saya melintas samudera, ke sebuah negara di barat Afrika: Sierra Leone.
Kini sebuah negeri yang namanya akrab di telinga.
Tiap kali saya memandang daratan benua hitam dari angkasa, coklatnya tanah yang gersang serta hijaunya hutan terlukis di kanvas bumi. Tapi sketsa kali ini tampak berbeda, pesisir barat disapu oleh warna biru lautan. Ya, lautan! Penerbangan yang saya tempuh selama sembilan jam dari Kenya berhias pemandangan buih putih ombak yang menggaris dari Ghana hingga Liberia, seakan menjadi batas antara daratan Afrika dan samudera Atlantis yang membiru di sisi kirinya.
Wilayah barat penuh dengan kisah berdarah, perang demi perang menghantam negara-negara yang menyekat samudera. Saya masih ingat gambaran Monrovia yang diselimuti asap dan tangis saat perang saudara berlangsung beberapa tahun yang lalu. Juga betapa paradoks hidup yang kelam diperlihatkan oleh Sierra Leone, negara berbentuk berlian ini disapu oleh warna merah darah penduduknya yang terjebak [sekali lagi] oleh perang saudara. Anak kecil dijadikan tentara, hukuman potong tangan pun menjadi biasa semuanya karena politik dan godaan semu berlian yang terkubur di tanahnya. Negara rubuh, pembangunan hanya menjadi puing-puing sisa perang dan butuh bertahun-tahun untuk kembali bisa membangun.
Saat berjalan menyusuri trotoar kota Freetown yang vibrant, dentuman musik terdengar dari penjaja dvd-dvd bajakan dan mobil-mobil tua hasil impor dari negara berkembang. Bangunan-bangunan baru tampak tumbuh menjulang, menghias bukit yang menjadi landmark kota, seakan ingin memperlihatkan bahwa negara ini sedang berlari menyusul yang lain dalam marathon pembangunan. Tapi menyelinaplah ke gang-gang di pinggiran kota dan pemandangan manusia-manusia tanpa tangan yang memandang dengan penuh harap dari balik tenda-tenda darurat akan dengan mudah ditemui
Layaknya terbangun dari tidur panjang, negara ini telah bangkit dan bergerak tapi potongan-potongan mimpi buruk semalam masih terekam jelas dalam ingatan…
***
“You only rest for three weeks after South Sudan? Thats crazy, it’s not enough you should take a longer rest” setengah tidak percaya rekan saya Laurie menimpali saat saya memberitahunya bahwa saya hanya melewatkan tiga minggu saja di rumah setelah setengah tahun bertugas di Sudan Selatan.
Saya tahu itu tidaklah cukup, saya pun merasa masih membutuhkan waktu istirahat yang lebih lama. Tubuh saya mungkin tidak lagi merasa lelah, tapi masih banyak hal yang ingin saya lakukan dan masih banyak waktu yang ingin saya lewatkan dengan orang-orang yang saya sayangi. Rasa nyaman yang tengah saya nikmati sungguh sulit untuk dilepas dan kembali pergi.
Penugasan saya kali ini pun akan berbeda, bukan lagi konflik ataupun perang yang menjadi ancaman utama tapi sebuah entitas yang tak kasat mata bernama virus Lassa, virus kuno nan mematikan yang telah merenggut jutaan nyawa sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1969 di Nigeria.
Kali ini saya pun akan berkata jujur, dalam hidup saya ada satu hal yang senantiasa berat untuk saya lakukan: bergerak keluar dari rasa nyaman. Terkadang saya menganggapnya normal, terkadang pula saya merasa layaknya pendosa. Beritahukan pada saya apakah salah merasa nyaman? Bukankah tiap-tiap dari kita sejatinya mencari rasa nyaman?
Manusia bergerak dan terus bergerak, berputar dalam aksisnya demi mencari satu titik equilibrium bernama rasa nyaman dan saat mereka akhirnya menemukannya mereka akan diam dan statis. Untuk kembali keluar ke luar, untuk kembali bergerak dan berputar, untuk kembali bergumul dengan ketidaknyaman? Percayalah, hal itu tak pernah mudah. Butuh aksi yang besar untuk menghasilkan dorongan reaksi dan membuat kita rela melepaskan rasa nyaman serta kembali menggerakkan roda hidup dan perjalanan.
Tapi saya percaya hidup ini hanya dijalani sekali saja dan saat kita memilih untuk diam maka layaknya sebutir atom kita akan mengecil dan hanya berpusat pada pengetahuan kerdil kita.
***
Mungkin tidaklah salah untuk berhenti sejenak pada rasa nyaman, untuk sekadar merayakan pencapaian, untuk memberi penghargaan pada hidup dan tiap-tiap waktu yang telah dilewatkan. Tapi ibarat sebuah perjalanan, hidup tak berhenti pada satu titik saja, bergerak lah maju dan temukan doronganmu.
Dan semoga saja suatu hari nanti, kita semua dapat tiba di titik tuju yang paling utama: Kelahiran yang sesungguhnya.