Back to The Black Continent

Freetown – Sierra Leone, 27 October 2013 [10:22am]

Pergilah mencari dan sampaikan pada saya saat suatu hari nanti, di sebuah sudut bumi kamu menemukan satu orang saja yang mencintai ketidaknyamanan.

***

Diberinya saya waktu beberapa minggu untuk beristirahat, menikmati rumah dan makanan buatan tangan ibu saya. Masih banyak cerita dan kenangan tentang Sudan Selatan yang belum saya tulis dan paparkan, saya masih harus kembali membiasakan diri tidur tenang tanpa dentuman suara senapan dan kini pekerjaan kembali membawa saya melintas samudera, ke sebuah negara di barat Afrika: Sierra Leone.

Kini sebuah negeri yang namanya akrab di telinga.

Continue reading

Tentang Dia dan Tangisnya

Doro Refugee Camp, 5 August 2013 [07:12am]

Tangisnya membuncah, lebih lengking dibandingkan riuh pengeras suara di depan sana. Kakinya digelung lumpur, tubuh telanjangnya pun basah akibat air yang tumpah. Mati-matian dia membawa air dalam jerigen yang beratnya mungkin lebih berat dari berat badannya sebelum akhirnya dia lelah, terjatuh dalam kubangan dan air yang dibawanya tumpah membasahi tanah yang sudah basah. Kini dia harus mengulanginya lagi, mengantri, memompa air kemudian membawanya pulang ke rumah yang hanya Tuhan yang tahu seberapa jauhnya. Mungkin dia akan gagal sekali lagi, dua kali lagi atau berkali-kali lagi.

Dan saya berada disana, bergeming memandangnya dari salah satu sisi. Tidak, saya sama sekali tidak berfikir untuk membantunya, dia harus berusaha sendiri karena hanya dengan begitu dia dapat belajar bertahan dan hidup.

Pemandangan ini bukan kali pertama saya temui, negeri ini secadas kisah-kisah yang hidup di dalamnya. Apabila kau berkata hidup adalah sebuah perjuangan, negeri ini dapat memberikanmu kesahihan. Tanah besar ini bukan tempat bagi orang-orang kecil yang lemah, air tak mengalir dengan mudah kawan! Kau harus mempunyai tenaga dan upaya untuk merengkuhnya.

Maka jangan salahkan saya apabila kadang saya berfikir, mungkin Tuhan tidaklah seadil yang saya kira… Continue reading

Tentang Cinta yang Terlalu Muda

Doro Refugee Camp, 19 August [06:48pm]

“No, you’re kidding!”

Saya sontak bersorak ketika Balla mengatakan perempuan di hadapan saya ini adalah istri dari pemuda kecil yang menjadi pasien kami.

“No my friend, I’m telling you the truth. Some of us married when we were very young” kata-katanya bergetar akibat kelakar. Perawat saya yang satu ini memang pandai menyimpul tawa.

Saya melayangkan pandangan ke arah gadis kecil yang kini hanya mampu tersipu sembari menggulung sudut kaos yang dikenakannya. Sebuah tangan pelan terjulur memeluk punggungnya, saya menoleh ke arah pemuda yang kini duduk di sampingnya sembari memamerkan susunan giginya yang putih rapih.

“So you are a man, literally!” Ujar saya takjub kepada pemuda berusia 15 tahun itu, saya berharap kata-kata saya tidaklah sejanggal ekspresi saya saat itu. Continue reading

Saya pernah jatuh cinta, kepada sepasang bola mata hitam dan rambutnya yang kelam serta pada sebaris senyum hangat di wajahnya yang menenangkan. di sudut matanya saya menyimpan rindu, saat dia memanggil nama saya ataupun tiap kali jari-jemari kami bertaut membelenggu, saat dia menyapa melalui barisan aksara ataupun saat kami bertukar sapa melalui suara.

Saya pernah jatuh cinta, saya senantiasa jatuh cinta…

Je pense à mettre ce journal inédit sur ​​mon prochain livre

Promise and Its Paradox

Doro Refugee Camp, 10 August 2013 [02:18am]

“Kata bukanlah benda yang dapat dipegang, tapi mampu mengikat lebih kuat dari tali kekang kuda-kuda perang.” Ayah saya pernah berpesan…

Saya ingat, kalimat itu dilontarkannya saat saya dengan jumawa berjanji akan menempati ranking satu sebelum saya tamat di sekolah menengah. Ayah saya kemudian tak pernah menagih janji, tapi diamnya membuat hati saya senantiasa risau saat pengumuman juara kelas tiap satu cawu berakhir.

Saya yang licik senantiasa mencari pembenaran saat ayah saya menanyakan rangking berapakah saya di cawu ini. Dia tak pernah mempersalahkan, tak pernah mencibir pun memarahi saat janji saya sekali lagi tak mampu saya tepati. Kemudian seiring waktu saya pun paham bahwa kata bukanlah benda yang dapat dipegang, mampu mengalir jauh melintasi rentang masa, tak terkikis, tak berubah, tak dapat di putar arah apalagi dibalikkan…

Cawu terakhir di sekolah menengah pun datang dan beruntung janji berat yang terucap di kala awal akhirnya mampu saya tepati, saya menempati rangking satu di tahun terakhir itu. Rasa bangga meluap dengan hebat, bukan karena saya menjadi juara kelas tetapi karena akhirnya janji yang terucap purna sudah.

Sejak saat itu saya tak senang mengumbar janji. Berjanji layaknya mengikat dengan simpul mati, tak terpatahkan hingga menjadi kenyataan. Saya pun berusaha tak berjanji, karena takut akan mengingkarinya nanti. Bagi saya janji layaknya palapa yang dipantangkan Gajah Mada, tak akan saya ujarkan seandainya tak mampu saya lakukan. Continue reading

Satu Syawal [2.0]

Siapapun kalian, bagaimana pun kalian memandang agama dan Tuhan saya percaya satu Syawal ini adalah hari yang istimewa. Saat kenangan kalian kembali menari di dalam reuni, saat jabat tangan dan hatur salam meluruhkan dosa yang merekat maha erat dan saat satu syawal hanyalah berarti libur, waktu istirahat ataupun sejenak pelepas penat.

Apapun itu, selamat berlebaran teman!

***

Doro Refugee Camp, 8 August 2013 [06:48pm]

Satu syawal kembali datang, saya pun [kembali] terpisah jauh dari rumah dan kemeriahannya. Pekerjaan ini membuat saya tidak memiliki dikotomi waktu sama sekali, siang ataupun malam, senin ataupun minggu tampak tak berbeda. Semua hanyalah gelinding demi gelinding waktu yang berlari saling memburu dan membuat saya [sayangnya] harus melepas satu syawal kali ini dengan tanpa apa-apa.

Lebaran ini bukan kali pertama saya terpisah jauh dari rumah, tapi lebaran kali ini adalah pertama kalinya saya berlebaran tanpa berlebaran. Satu syawal setahun yang lalu, Tuhan masih memberi saya waktu untuk melewatkannya dengan sedikit rasa. Kali ini, saya hanya mampu menikmati kemeriahannya dalam kesendirian.

Hari ini layaknya hari kemarin, klinik kami sedang sibuk-sibuknya. Wabah malaria mendekam cukup lama dan membuat antrian pasien mengular tanpa henti. Mereka yang datang dengan meriang ataupun sudah dalam keadaan koma tak mampu lagi saya hitung dengan jari, waktu kerja kami pun merentang semakin panjang. Beruntung saya masih mampu mengucapkan hatur salam kepada ibu melalui telepon pagi tadi, saat subuh baru saja berlalu dan sinyal telekomunikasi sedang sedikit bersahabat. Sedih? Ya tentu saja… Continue reading

Connection, At The World We Live In.

Doro Refugee Camp, 21 July 2013 [12:08pm]

Kalau boleh saya mengibaratkan kita manusia layaknya hewan amphibia, selalu hidup di dua dunia. Kita hidup di antara realita dan mimpi, diantara harapan dan apa yang ada dalam genggaman dan apabila boleh saya menyamaratakan, sepertinya kita; Manusia abad sekarang semuanya hidup dalam dua alam, buana nyata dan dunia maya. Tentu saja, saya pun demikian…

Di dunia maya saya tak lebih dari kumpulan meta data, pun semua orang demikian. Bytes-bytes kami bersinggungan dan menjelma menjadi memori. Membuat saya memiliki kenangan virtual tentang siapa saja yang pernah saya temui. Di balik layar dan beragam avatar banyak dari mereka adalah manusia-manusia yang mencerahkan dan betapa beruntungnya beberapa dari mereka akhirnya dapat saya raih dalam jabat tangan yang sesungguhnya.

Banyak yang berkata, dunia maya tak lebih dari ilusi. Harapan kosong yang banyak orang berusaha raih. Tempat dimana semua orang berusaha tampak sempurna ataupun berkebalikan dari realita sesungguhnya. Tapi bagi saya, dunia maya ataupun nyata tak banyak berbeda. Keduanya bagai satu simpul benang yang saling berikatan; saling bersentuhan sisi antara satu dan lainnya dengan cara yang berbeda.

Dan kali ini, saya ingin bercerita tentang salah satunya…

*** Continue reading

It’s Time to Move On

Stone Town – Zanzibar, July 12 2013 [05:05pm]

Hey, how are you?

Well, I don’t know if this postcard will arrive at where it belongs [supposed to be your mailbox]

But at any cases, I would like you to know how picturesque this island is. Dazzling sun, breese from indian ocean, the solitude white sand beach. i know how you adore beach as much I love it, how you like to scuttle yourself into the silent sea garden. I believe it will be easy for anchor your heart here.

It’s been my sixth days on this island…

Do you remember, I’ve said that I pine for ocean, seafood [darn, I try not to mention sushi but yes sushi!]. That’s the reason why I chose to landed myself in Zanzibar. The city also gorgeous, but let me tell you a secret, I got lost almost everyday on the riddle labyrinth of Stone Town [seriously the labyrinths are bizzare].

But there, yesterday in the middle of the city maze from a guy at the mosque I found my epiphany….

All of this time it’s not about you. I think I was lost before and there I met you on a long darren road. I think I finally found the way back to a place I call home, even at the end you left me alone.

There, at that time I felt a real lost…

But the man at the mosque made me realize one thing. That actually I have never lost. I simply just miss the concrete path and accidentally choose the lone trail.

But no matter which path I choose, it will lead me to the final destination in my life. None is better than the other, both of it offers me a lesson. I simply grateful for that.

Maybe eventually we dispart at the crossroads but I believe, one day we will meet again. In the path where we first met, where there is only adventure and story to share.

Perhaps you are my final destination or perhaps not. But one thing for sure, you are one of the best stopover in the course of my life.

And for that, my feeling still stay the same as we first met.

See you when i see you, dear….

Next Adventure: Ocean!

Indian Ocean, 7 July 2013 [10:56am]

 Debur ombak, angin barat yang membakar, bau garam, lautan biru tak berujung. Saya pulang!

***

Manusia dan laut senantiasa memiliki hubungan yang unik, setidaknya itu menurut saya. Manusia dan rasa keingintahuannya berusaha menjelajahi laut, mencari tahu apa yang ada di balik horizonnya. Dibangunnya kapal-kapal besar dari batang kayu terkuat, di bentangkannya layar-layar terlebar dari rajutan kain-kain terbaik. Tapi pada akhirnya manusia tak pernah dapat menaklukkan lautan, para pelaut pun bergantung pada bintang sebagai penunjuk arah, atau bias cahaya merkusuar dari daratan terdekat. Di hembusan angin barat dan timur yang silih berganti mereka meletakkan harapan, berharap angin memeluk layar-layar mereka dan mengantarkan hingga tiba di haribaan tujuan

Manusia sebagai entitas tercerdas di bumi pun tidak dibekali dengan kemampuan untuk hidup di air, yang sayangnya menjadi daerah terluas di planet biru ini. Agama-agama Samawi turut bercerita tentang Musa yang mampu membelah lautan ataupun Isa yang dibekali kemampuan untuk dapat berjalan di atas air. Tapi tampaknya hanya mereka, dua manusia istimewa dari miliaran penduduk daratan yang dikisahkan memiliki kemampuan seperti itu, tapi saya yakin, ada jutaan orang lainnya yang berharap diberi mukjizat yang sama. Continue reading

Dar Es Salaam dan Rahasia Besarnya

Dar Es Salaam, 06 July 2013 [11:44am]

“He who wanders around by day a lot, learn a lot.” ~ Old African Proverbs

***

 Dua hari saya lewatkan di Dar Es Salaam, sebuah kota metropolis di Timur Afrika. Ibukota Republik Tanzania, rumah bagi Kilimanjaro; Satu dari tujuh puncak tertinggi di dunia. Dalam bahasa Swahili, mereka menyebut Dar Es Salaam dengan  “Bongo” atau “Otak”, satu-satunya hal yang membuat seseorang dapat bertahan dalam kota dimana lebih dari 70% penduduknya hidup tanpa sanitasi, air ataupun listrik yang memadai.

Dar Es Salaam tidak tercipta dalam semalam,  sejarah panjang kota ini mengular dari masa keemasan dinasti-dinasti Yaman hingga ke tapak-tapak kaki para penguasa Eropa. Dalam rentang masa Dar Es Salaam berevolusi panjang, tertidur sekejap saat karavan budak dihentikan hingga kemudian kembali bangun dalam keriuhan pembangunan sejak abad ke 19 dimulai.

Sebelum matahari meninggi, saya telah turut berjejalan dengan penduduk Dar Es Salaam di atas Dala-Dala, angkutan umum yang menyusuri tiap lekuk kota ini. Membiarkan diri saya terlarut dalam alunan musik India, aroma tubuh khas Afrika, rombongan perempuan tinggi semampai yang tertutup burqa, serta anak muda dengan gaya ghetto khas Amerika. Sekejap saya takjub dengan kemampuan bus kecil ini menyatukan berbagai kultur yang tampaknya saling berseberangan.

Masih terngiang percakapan saya dengan Vicki (tuan rumah saya) pagi tadi, olehnya dibagi sekeping rahasia kota ini. Continue reading